SIMPUL JIWA

Sinar kekuningan mulai menerpa bantal, menyelimuti setengah bumi dari hangat terangnya sang surya. Matahari perlahan menyembul keluar dari balik barisan ancala yang berjejer rapi membentuk benteng yang mengelilingi pesisir lautan. Burung-burung terbang meninggalkan sarang guna mencari santapan

SIMPUL JIWA
Oleh Novia Zahra R

Sinar kekuningan mulai menerpa bantal, menyelimuti setengah bumi dari hangat terangnya sang surya. Matahari perlahan menyembul keluar dari balik barisan ancala yang berjejer rapi membentuk benteng yang mengelilingi pesisir lautan. Burung-burung terbang meninggalkan sarang guna mencari santapan. Gugur dedaunan yang sudah berubah warna menjadi coklat pucat menjadi gambaran awal dimulainya hari.

Seperti biasa, hari itu berjalan seperti biasa, tak ada yang istimewa. Selalu terasa mengekang, selalu terasa berat, selalu terasa letih, dan selalu menyugihkan senyum penuh kepalsuan dibelakangnya. Tak ayal tubuh terasa begitu sakit padahal tak melakukan sesuatu yang berat, ternyata tubuh yang sakit itu diakari oleh pikiran yang terbebani hari. Bak dibui oleh kehidupan, rasanya tak bebas.

Hangatnya arunika hari itu tergantikan oleh dinginnya arutala yang dengan gagahnya menyinari jumantara nan sepi. Purnama sedang penuh-penuhnya, terang-seterangnya, dan dingin sedingin-dinginnya. Dibawa kaki polos itu menuju ujung dermaga, berpijak pada kayu-kayu yang tersusun menjadi sebuah jembatan. Terduduk pada ujungnya, karena tahu sudah tak ada jalan untuk maju. Lautan yang terhampar di depan sungguh sangat memanjakan mata. Semilir angin berhembus menerbangkan helai rambut yang tak masuk dalam ikatan. Kepala menengadah keatas melihat titik bintang yang tersebar rapi menghiasi bumantara nan dingin kala itu.

Indah.

Pandangan jatuh keluasnya bentangan sagara nan dingin malam itu. Tatapan terus meneliti bagaimana ombak yang tenang dapat mengisi lakuna di hati. Harap penuh diucapkan tulus dengan batin. Berharap apa yang ada dihadapan tak pernah hilang terganti, amerta dipaku bumi. Bukan hanya air laut yang asin, air matapun sama asinnya. Tetesan yang mula-mula menyeruak dalam bentuk yang kecil, berubah menjadi deras bak ujung air terjun. Tak ada pelangi disana, hanya raungan nestapa yang terkekang. Bentangan sagara menjadi saksi kala derai air asin menyeruak menyakiti. Mantap sudah hatinya.

Berdiri pada pijakannya dan menarik napas dalam-dalam. Mantap hatinya tuk bisa keluar dari hidup yang penuh kekangan itu. Perlahan. Perlahan saja, tak perlu buru-buru. Mungkin benar pada dekatnya hari kemerdekaan lahir, bukan hanya negara saja yang harus dimerdekakan, diri pun harus bisa merdeka. Tidak hanya menyesuaikan pada tempat apapun yang menjadi langkah hari, namun bisa menunjukkan sisi diri sendiri tanpa harus memenuhi ekspetasi orang lain.

Berbahagialah.

Simpul Jiwa

Tempo - Kelas Bersama
Kelas Menulis Cerita Pendek di Kelas Bersama 
Karya Novia Zahra R
Sebagai penugasan di kelas Menulis Fiksi Kreatif: Mengukir Ekspresi Lewat Puisi dan Prosa pada 12 Agustus 2023