Saat Rakyat Jadi Abu, Kekuasaan Menyalakan Obor Palsu

“Saat Rakyat Jadi Abu, Kekuasaan Menyalakan Obor Palsu” merupakan tulisan opini karya Cleopatra Imelda Anatasya, Mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta yang menjadi pemenang dalam Lomba Menulis Opini yang digelar oleh Tempo Institute dan Kelas Bersama pada Agustus 2025.

Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri,” ujar Ir. Soekarno, Bapak Proklamator Republik Indonesia. Lalu muncul pertanyaan yang mengguncang batin kita: Benarkah Indonesia gelap? Ataukah kegelapan itu justru diciptakan dan dipelihara oleh mereka yang seharusnya melindungi rakyatnya?

Apakah negara ini benar-benar sedang menuju gelap? Ataukah kita hanya sedang dipaksa percaya bahwa obor yang dibawa penguasa adalah cahaya, padahal ia hanyalah api palsu yang membakar rakyat perlahan? Pertanyaan itu menghantui banyak dari kita, terutama saat melihat jalanan dipenuhi mahasiswa, guru, buruh, hingga masyarakat biasa yang turun ke aspal demi menuntut keadilan. Mereka berteriak bukan karena hobi ribut, tapi karena hidup kian sempit, janji kian kabur, dan keadilan terasa semakin jauh.

Bayangkan, di negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan, masih ada guru yang digaji Rp300 ribu per bulan. Di sisi lain, anggota DPR bisa menikmati Rp3 juta per hari hanya dari gaji pokok dan tunjangan (CNN Indonesia, 2025). Ironisnya, guru justru disebut “beban negara”. Pertanyaan sederhana pun muncul: siapa sebenarnya beban negara ini guru yang mencetak masa depan atau wakil rakyat yang hanya sibuk berdebat soal anggaran?

Krisis Kepercayaan: Saat Janji Jadi Asap, Rakyat Menjadi Bara

Demonstrasi besar-besaran yang baru saja terjadi tidak datang begitu saja. Ia lahir dari akumulasi rasa kecewa yang menumpuk. Pemotongan anggaran pendidikan dan kesehatan membuat masyarakat curiga bahwa janji-janji pemerintah hanyalah slogan kosong. Program makan siang gratis yang awalnya digadang-gadang sebagai terobosan, ternyata hanya sampai di sebagian daerah dan bahkan terkena efisiensi. Targetnya besar, tapi realisasinya mengecewakan (Kompas, 2025). Tak heran jika banyak rakyat menganggapnya sebagai pemborosan anggaran yang tidak menyentuh akar persoalan.

“Kemarahan rakyat makin tersulut saat seorang pengemudi ojek online yang tidak ikut aksi justru dilindas kendaraan Brimob. Ia hanyalah rakyat kecil yang sedang mencari nafkah, tetapi nyawanya terenggut begitu saja di tengah hiruk-pikuk demo. Lebih ironis lagi, pelaku hanya dihukum 20 hari penahanan (Kompas, 2025). Hukuman yang kelewat ringan itu menegaskan apa yang selama ini dipercaya rakyat: hukum di negeri ini tajam ke bawah, tumpul ke atas.”

Seakan belum cukup, publik dikejutkan lagi dengan kasus Tom Lembong dan Nadiem Makarim yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Meski tidak terbukti menerima dana, keduanya tetap terseret ke pusaran hukum (Tempo, 2025). Banyak yang menilai kasus ini hanyalah jebakan batman, permainan politik, atau bahkan pengalihan isu. Di titik ini, kepercayaan publik pada pemerintah dan aparat hukum benar-benar berada di titik nadir.

Gelap Bukan Takdir, Tapi Rekayasa Kekuasaan

Gelap yang menyelimuti Indonesia hari ini bukan datang dari langit, bukan pula takdir Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Gelap ini adalah hasil keputusan politik yang tidak berpihak pada rakyat. Ia lahir dari tangan-tangan penguasa yang memilih menutup cahaya, agar rakyat tetap terjebak dalam kegelapan.

Mahasiswa yang turun ke jalan, guru yang terus mengajar meski dihina, hingga rakyat kecil yang nekat bersuara, semua adalah bukti bahwa cahaya itu masih ada. Namun sayang, cahaya itu dibelenggu oleh mereka yang seharusnya melindungi. Polisi, yang semestinya menjadi pelindung rakyat, justru hadir sebagai represi. Pemerintah, yang seharusnya mengayomi, malah sibuk dengan drama politik. DPR, yang katanya wakil rakyat, lebih banyak membela kepentingan partai dan kelompok.

Vandalisme, perusakan, hingga korban jiwa dalam demonstrasi memang tidak bisa dibenarkan. Tapi kita juga harus jujur: itu semua hanyalah puncak gunung es dari rasa frustasi yang tak pernah didengar. Ketika kanal demokrasi formal ditutup, jalanan menjadi satu-satunya ruang untuk berteriak.

Menyalakan Api Sejati, Dari Jalanan ke Harapan

Kalau kita tidak ingin terus terjebak dalam obor palsu kekuasaan, maka bangsa ini butuh langkah nyata, bukan sekadar retorika:

  1. Transparansi anggaran: Pemerintah wajib membuka data anggaran secara detail, terutama di sektor pendidikan dan program sosial, agar rakyat tahu ke mana uang negara mengalir.
  2. Keadilan gaji guru: Guru harus mendapatkan gaji yang manusiawi. Mustahil kualitas pendidikan meningkat jika para pendidik dimiskinkan.
  3. Reformasi aparat keamanan: Polisi harus berhenti menjadi alat represi. Mereka harus kembali ke peran utama: melindungi, mengayomi, dan melayani rakyat.
  4. Pengawalan janji politik: Mahasiswa dan masyarakat sipil harus terus mengawal janji 17+8 agar tidak berhenti sebagai sekadar jargon kampanye.

Dari Abu ke Api Kebangkitan

Saat ini rakyat memang terasa seperti abu kering, rapuh, dan tercerai-berai. Tapi jangan lupa, dari abu pula api bisa kembali menyala. Bedanya, api yang lahir dari rakyat bukanlah obor palsu yang menipu, melainkan cahaya sejati yang bisa menerangi jalan bangsa.

Indonesia tidak sepenuhnya gelap. Yang gelap hanyalah cara kekuasaan menutup cahaya. Tugas kita sebagai mahasiswa, akademisi, dan warga negara adalah merobek penutup itu. Karena bangsa ini terlalu berharga untuk terus hidup dalam bayang-bayang gelap buatan penguasa.

Mungkin benar kata Bung Karno, melawan penjajah lebih mudah daripada melawan bangsamu sendiri. Tapi justru di situlah tantangan generasi kita, menyalakan cahaya yang asli, bukan sekadar obor palsu. Jika tidak, negeri ini akan terus membakar rakyatnya, hingga tak tersisa apa-apa kecuali abu.

“Saat Rakyat Jadi Abu, Kekuasaan Menyalakan Obor Palsu” merupakan tulisan opini karya Cleopatra Imelda Anatasya, Mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta yang menjadi pemenang dalam Lomba Menulis Opini yang digelar oleh Tempo Institute dan Kelas Bersama pada Agustus 2025.